Minggu, 10 Juli 2011

Masa Orientasi Siswa (MOS) ; Pengenalan atau Kekerasan ???


Hari ini ada yang nampak lain dari hari-hari biasanya, begitu banyak siswa pagi-pagi buta sudah berangkat kesekolah. Ada yang berangkat dengan diantarkan oleh orang tua maupun berangkat masing-masing, siswa ini datang dengan rambut berhiaskan pita warna-warni dan sebuah karton cukup besar terkalung di leher, dengan bertulisakn namanya masing-masing.

Ternyata hari ini dimulailah masa orientasi siswa atau yang biasa kita sebut dengan MOS, masa orientasi siswa merupakan sebuah kegiatan umum dilaksanakan di sekolah guna menyambut kedatangan siswa baru. Masa orientasi ini lazim kita jumpai hampir tiap sekolah, mulai dari tingkat SMP hingga SMA. Tak pandang itu sekolah negeri maupun swasta, semua menggunakan cara itu untuk mengenalkan almamater pada siswa barunya.

MOS dijadikan sebagai ajang untuk melatih ketahanan mental, disiplin dan mempererat tali persaudaraan. MOS juga sering dipakai sebagai sarana perkenalan siswa terhadap lingkungan baru di sekolah tersebut. Baik itu perkenalan dengan sesama siswa baru, kakak kelas, guru hingga karyawan di sekolah itu. Tak terkecuali pengenalan berbagai macam kegiatan yang dilaksanakan di lingkungan sekolah baik yang intrakurikuler (OSIS) maupun ekstrakurikuler (Pramuka, Basket, futsal, karate dll).

Dalam kegiatan MOS pasti ada tujuan yang ingin dicapai. Tujuan yang hendak dicapai dalam kegiatan MOS itu antara lain,memperkenalkan siswa pada lingkungan fisik sekolah yang baru mereka masuki, memeperkenalkan siswa pada komponen sekolah beserta aturan, norma, budaya, tata tertib yang berlaku, memperkenalkan siswa pada keorganisasian, memperkenalkan siswa untuk dapat menyanyikan lagu hymne dan mars sekolah, dan memperkenalkan berbagai wawasan dasar pada siswa sebelum memasuki kegiatan pembelajaran secara formal di kelas.

Namun fakta yang sering kita lihat substansi dari masa orientasi siswa itu sangat tidak sesuai dengan apa tujuan sesungguhnya yaitu menjadi tempat perkenalan antara siswa baru, kakak kelas dewan guru, hingga perkenalan pada sistem dan proses pembelajaran yang akan dijalani. namun MOS dijadikan wahana perpeloncoan, siswa baru menjadi bulan-bulanan kakak kelas mereka. Perpeloncoan yang identik dengan kekerasan terutama terjadinya benturan fisik tak jarang mengakibatkan adanya korban jiwa. Pada tahun 2009 ada salah seorang siswa baru sebuah SMA di kota surabaya menajadi korban kekerasan fisik kakak kelas. Hal ini akibat pelaksanaan MOS yang tidak menggunakan tatacara mendidik dan memunculkan karakter siswa.

Menyambut masa perkenalan siswa baru, dalam MOS Kementrian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) sejak tahun 2008 telah mengeluarkan surat edaran No. 220/C/MN/2008 Perihal : Kegiatan "Masa Orientasi Siswa" yang ditujukan kepada Kepala Dinas Pendidikan Propinsi dan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia, surat edaran menteri pendidikan nasional ini berisi tentang pelaksanaan masa orientasi siswa (MOS). Inti dari surat ini Kemendiknas melarang adanya praktek kekerasan, baik fisik maupun mental.

Seharusnya masa orientasi siswa ini tidak hanya menjadi tanggung jawab kementrian pendidikan nasional saja, tetapi juga tanggung jawab pemerintah daerah apa lagi sekarang pendidikan dasar hingga menengah sudah menjadi otonomi daerah. Walikota dan bupati melalui Kepala dinas pendidikan setempat sudah selayaknya melakukan kontrol terhadap pelaksanaan MOS di wilayahnya, sehingga bila terjadi permasalahan dalam pelaksanaan MOS pemerintah daerah tidak lepas tangan, contohnya terhadap tindak kekerasaan yang mungkin akan terjadi.

Dinas Pendidikan harus memberikan pemahaman kepada pihak sekolah yang mengadakan MOS agar pelaksanaannya tidak mempergunakan kekerasan fisik maupun mental. Kemudian juga sekolah membentuk panitia MOS yang biasanya melibatkan dewan guru dan siswa (pengurus osis)  dengan tata cara tidak menimbulkan kekerasan fisik maupun mental tetapi lebih kepada memupuk pendidikan karakter anak. Yang paling penting semua harus saling mengawasi terhadap pelaksanaan MOS ini, orang tua mengawasi, dewan guru mengawasi, dinas pendidikan mengawasi, serta masyarakat mengawasi.

Ketika sistem sosialisasi dan kontrol ini sudah terlaksana, dan semua stake holder saling pro aktif maka proses Masa Orientasi Sekolah akan kembali kepada tujuan awal MOS itu sendiri yaitu masa perkenalan dengan tanpa tindakan kekerasan baik fisik maupun mental, sehingga peoses perpeloncoan yang identik dengan kekerasan sedikit demi sedikit akan hilang, sehingga MOS menjadi ajang pengenalan siswa baru terhadap lingkungan sekolah yang benar-benar baik dengan tetap menjalankan penguatan berbasis karakter bangsa.

Selasa, 05 Juli 2011

Politik Dinasti Pasca Reformasi ; Demokrasi atau Neo Monarki


Pada zaman feodal di China kuno, kekuasaan politik dibagikan di antara keluarga dan sanak saudara. Ketika feodalisme hancur sekitar kurun 200 sebelum Masehi, takhta kekuasaan menjadi obyek yang diperebutkan pemburu kekuasaan. Di Indonesia hari ini, ketika pemilu kepala daerah menjadi bagian penting sistem demokrasi, rezim keluarga menjadi pemburu kekuasaan itu. Fenomena pasca-kehancuran feodalisme pada akhir Dinasti Chou itu sepertinya menggambarkan fenomena kekinian Indonesia. Pascafeodalisme di China, betapa kaum nonbangsawan terjangkiti syahwat berkuasa. Kisah yang dituturkan ahli sejarah, Chien Ssu-ma, yang hidup pada zaman Dinasti Chin (255-207 SM), menjadi catatan menarik. Sewaktu menyaksikan arak-arakan raja di jalan umum, kepada temannya, ia mengatakan, ”Ini (kekuasaan) bisa kurebut.”

Dinasti politik yang dalam bahasa sederhana dapat diartikan sebagai sebuah rezim kekuasaan politik atau actor politik yang dijalankan secara turun-temurun atau dilakukan oleh salah keluarga ataupun kerabat dekat. Rezim politik ini terbentuk dikarenakan concern yang sangat tinggi antara anggota keluarga terhadap perpolitikan dan biasanya orientasi dinasti politik ini adalah kekuasaan.

Dinasti politik di Indonesia sebenarnya adalah sebuah hal yang jarang sekali dibicarakan atau menjadi sebuah pembicaraan, padahal pada prakteknya dinasti politik secara sadar maupun tidak sadar sudah menjadi benih dalam perpolitikan di Indonesia sejak zaman kemerdekaan. Dinasti politik sebenarnya adalah sebuah pola yang ada pada masyarakat modern Barat maupun pada masyarakat yang meniru gaya barat. Hal ini dapat terlihat dalam perpolitikan di Amerika dan juga di Filipina. Dinasti politik tidak hanya tumbuh di kalangan masyarakat demokratis-liberal. Tetapi pada hakikatnya dinasti politik juga tumbuh dalam masyarakat otokrasi dan juga masyarakat monarki, dimana pada sistem monarki sebuah kekuasaan sudah jelas pasti akan jatuh kepada putra mahkota dalam kerajaan tersebut.

Dinasti politik di Indonesia sebenarnya sudah muncul di dalam keluarga Presiden pertama Indonesia,Preseiden Soekarno. Hal tersebut terbukti dari lahirnya anak-anak Soekarno yang meneruskan pekerjaan ayahnya sebagai seorang politisi. Seperti Megawati Soekarno putri (yang akhir-akhir ini juga semakin memperlihatkan gejala kedinastian politik Indonesia pada diri anakanya –Puan Maharani), Guruh Soekarno Putra, dll. Dalam tatanan kontempoerer, dinasti politik juga sekarang terlihat muncul pada diri keluarga mantan Presiden Indonesia Alm K.H. Abdurrahman wahid, dengan munculnya saudara-sudara kandungnya dan juga anak kandungnya ke dalam dunia perpolitikan Indonesia. Kecenderungan dinasti politik juga ditunjukkan dalam keluarga Presiden Indonesia saat ini Susilo Bambang Yudhoyono, yang ditunjukkan dengan kiprah anaknya Eddie Baskoro yang berhasil menjadi anggota DPR periode 2009/2014.

Hasrat berkuasa seperti itu mirip dengan semangat berkuasa di alam demokrasi karena setiap orang punya hak sama. Namun, runyamnya, jalur pertalian darah atau keluarga yang merupakan ciri masyarakat tradisional justru tersemai subur di lorong-lorong demokrasi yang terus dibangun di negeri ini. Tak mengherankan, sejak pemilu kepala daerah (pilkada) menjadi proses demokrasi di tingkat lokal pasca era otonomi daerah 10 tahun silam, politik dinasti atau rezim keluarga justru makin fenomenal. Pilkada yang melahirkan elite daerah kian disesaki dengan lakon suami-istri, orangtua-anak, atau kakak-adik.

Saat bupati petahana (incumbent) tidak bisa lagi ”naik ring” karena sudah dua periode, seperti diatur Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, para istri yang naik pentas. Itulah yang dilakukan Sri Suryawidati (Ida), istri Bupati Bantul, DI Yogyakarta, Idham Samawi; Titik, istri Bupati Sukoharjo, Jawa Tengah, Bambang Riyanto; dan Widya Kandi Susanti, istri Hendy Boedoro, Bupati Kendal, Jateng. Bahkan, kasus di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, mirip gaya total football Belanda. Bupati Irianto MS Syaifuddin memberikan restu kepada istrinya, Anna Sophana, dan anaknya, Daniel Mutaqien, untuk mencalonkan diri bersama. Mereka berebut tiket dari Partai Golkar. Kasus rezim keluarga terlihat pula pada pilkada di Kabupaten Kediri, Jawa Timur, atau Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Sebagai bagian dari lingkaran dalam penguasa petahana, pasti mereka memiliki modal kuat.

Nafsu kuasa tampaknya tak mudah dibatasi. Sepenggal ungkapan klasik Lord Acton (1834-1902), ”kekuasaan cenderung korup”, pun tak mampu menjadi pengingat. Tak heran, aturan UU No 32/2004 pun bisa ”diakali”. Salah satu modusnya adalah bertukar jabatan. Kepala daerah petahana memilih ”turun takhta” ke posisi wakil agar bisa ”bertarung” lagi. Wali Kota Surabaya Bambang DH turun menjadi wakil wali kota. Sebetulnya Bambang ingin mencalonkan lagi sebab merasa pada periode pertama, ia menggantikan Wali Kota Sunarto Sumoprawiro yang meninggal. Namun, uji materi terhadap UU itu yang diajukannya kandas di Mahkamah Konstitusi. Di Jembrana, Bali, Bupati Gede Winasa yang sudah menjabat dua periode dikabarkan akan menduduki wakil bupati mendampingi anaknya, Patriana Krisna. Carut-marut politik rezim keluarga di pilkada kian ruwet. Contoh mutakhir adalah kasus di Bone Bolango, Gorontalo. Bupati Ismet Mile (petahana) yang bertarung kembali untuk periode kedua justru ditantang istri pertamanya, Ruwaida Mile. Pertarungan ini terpicu persoalan dalam rumah tangga.

Fenomena rezim keluarga itu, menurut pengajar Ilmu Politik Universitas Indonesia, Andrinof Chaniago, tak beda dengan feodalisme pada masa silam. Hal itu membuat penyaluran aspirasi masyarakat menjadi semu. Fenomena itu, ungkap Guru Besar Kebijakan Publik Universitas Brawijaya, Malang, Solichin Abdul Wahab, memperlihatkan demokrasi belum selesai sepeninggal Orde Baru yang otoritarian. ”Pada masa Orde Baru, dinasti (rezim) keluarga menguasai sektor ekonomi. Tetapi, sekarang masuk di bidang politik,” Dalam konteks rezim keluarga itu menunjukkan banyaknya penunggang gelap yang akhirnya membuat kualitas demokrasi menurun.