Kamis, 30 Juni 2011

KEMISKINAN DITENGAH MELIMPAHNYA SUMBER DAYA ENERGI KEMBALIKAN PENGELOLAAN PADA KONSTITUSI


Jumlah penduduk miskin indonesia masih relatif sangat besar meskipun dengan menggunakan standard BPS yang sangat rendah (penghasilan $1/hari) penduduk miskin masih sekitar 30 jutaan orang, padahal potensi sumber daya relatif melimpah, cadangan batubara dan gas relatif sangat besar dan cadangan minyak relatif sangat besar itulah yang di sampaikan Dr. Kurtubi Direktur CPEES (center for petroleum and energy economics studies) yang juga merupakan pengamat perminyakan dalam sebuah acara Workshop Energi dan Pertambangan. Sumber daya fossil/hydrocarbon, khususnya minyak dan gas yang terjebak disekitar 120 cekungan relatif masih sangat besar, semestinya bisa menjadikan indonesia sangat menarik bagi para investor, sehingga produksi minyak bisa sustainable. Namun, Indonesia saat ini telah berubah menjadi negara Net Oil Importer harus keluar dari OPEC. Penyebabnya karena Indonesia salah dalam mengelola kekayaan  migasnya hal ini mengakibatkan kondisi investasi Migas di Indonesia merupakan salah satu yang terburuk di dunia. Konsumsi energi di Indonesia tahun 2005 masih sebagian besar tergantung pada energi fosil (83%) meski dengan Diversifikasi sumber energi dimana minyak turun dari 52% tahun 2005 menjadi 20% pada tahun 2025.

Dasar hukum pengelolaan sumber daya energi adalah pasal 33 UUD 1945, ayat 2 & 3 dan UU Migas No. 22/2001, ayat 2 : cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. (dasar pengelolaan energi ; BBM dan Listrik) dan ayat 3 : Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. (dasar Pengelolaan sumber daya Energi dan Mineral ; Migas dan Tambang Umum). Kenyataannya produksi minyak nasional sangat rendah/anjlok, sasaran produksi dalam APBN selalu gagal dicapai, sehingga ketergantungan pada minyak import terus meningkat sehingga ketahanan energi sangat rawan. Hal ini disebabkan bukan karena potensi sumber daya Migas yang habis, tetapi karena salah kelola yang didasarkan atas UU Migas No. 22/2001

Berdasarkan hasil survey dari Fraser Institute Canada, kondisi industri/investasi Migas di Indonesia salah satu yang terburuk di Dunia. Dari 133 negara/wilayah yang disurvey, indonesia berada di urutan 111, sedangkan untuk kawasan Oceania, posisi indonesia sangat paling buruk hanya lebih baik dari timor leste. Kondisi investasi migas Indonesia lebih buruk dari, Papua Nugini, Malaysia, Philipina, Vietnam, Camboja, Thailand, Brunei, Australia, China, India, Pakistan Dsbnya. Hal ini terjadi karena faktor korupsi, keterbatasan akses data, kontrak yang dilanggar oleh pemerintah, dan karena UU Migas yang tidak investor friendly. Meskipun UU Migas sudah cacat hukum dan merugikan Indonesia, tetapi pemerintah (presiden dan menteri ESDM) tidak melakukan apapun untuk memperbaiki keadaan.

Adapun kesalahan pengelolaan Migas saat ini yang didasarkan atas UU Migas No. 22/2001 ialah Bertentangan dengan UUD 1945 (berpola B to G, kedaluatan negara atas Sumber daya energi hilang, menghilangkan peran negara, liberalisasi), Bertentangan dengan prinsip pengelolaan yang efisien (birokratik/berbelit-belit, model unbudling/terpecah), Menafikan resiko usaha perminyakan (mencabut azas psesialist), Menyebabkan kondisi investasi migas di Indonesia menjadi paling/sangat buruk di dunia, Produksi minyak anjlok, sementara cost recovery meningkat, BP Migas didesain dengan tanpa dewan komisaris, Migas bagian negara harus dijual lewat pihak ketiga, Gas milik negara di tangguh papua dijual sangat murah ke china sementara didalam negeri kekurangan Gas.

Sehingga UU Migas harus dicabut/direvisi karena Keputusan mahkamah konstitusi telah mencabut beberapa pasal utama karena dinilai bertentangan dengan pasal 33 UUD 1945, yaitu pasal 12 ayat 3, pasal 22 ayat 1 dan pasal 28 ayat 3, Dalam konsiderans (‘mengingat’) UU Migas menyebutkan : “pasal 33 ayat 2 dan 3 UUD 1945 yang telah di ubah dengan perubahan kedua UUD 1945”. Padahal pasal 33 tidak pernah diubah hingga saat ini, Pansus hak angket BBM DPR telah merekomendasikan agar UU Migas direvisi, Implementasi UU Migas telah terbukti merugikan negara, Memberi jalan bagi terbentuknya BUMN Migas (pertamina baru) berdasarkan pasal 33 UUD 1945 yang terintegrasi, berskala dunia, terbesar di asia, efesien dan mampu bersaing. Saat ini Pertamina tertinggal jauh dari Petronas. Jumlah asset dan revenuesnya hanya 1/5 Petronas.

Untuk mempercepat kemakmuran dan mengurangi kemiskinan kembalikan pengelolaan migas nasional sesuai amanat konstitusi yaitu kembali kepada pasal 33 UUD 1945. Segera cabut/revisi UU migas No. 22/2001 pola hubungan antara host country dengan investor, supaya dirubah dari pola B to G menjadi B to B. Karena pola B to B lebih efesien dan lebih menjamin kedaulatan negara atas sumber daya alamnya. Kontrak production sharing dengan investor dilakukan antara BUMN Migas yang diberi kuasa pertambangan dengan investor, dimana seluruh kontrak harus memperoleh persetujuan dari presiden dan dilaporkan ke DPR. Sederhanakan sistem dengan melikiwidasi BP Migas ke BUMN Migas, BPH Migas dilikwidasi ke Kemen ESDM/Ditjen Migas sebagai regulator. Hapus pajak/pungutan sebelum berproduksi. BUMN Migas sebagai pemegang kuasa pertambangan harus didesain sebagai perusahaan minyak yang terintegrasi (integrated oil company) dan harus dinyatakan tidak boleh dijual. Kekayaan Migas yang ada di perut bumi harus dikuasai dan dimiliki negara, dibukukan sebagai asset oleh BUMN Migas dan dapat dimonetasi oleh BUMN Migas.

Langkah atau kebijakan yang harus diambil pemerintah adalah segera renegosiasi penjualan gas tangguh ke china, penuhi kebutuhan gas dalam negeri, segera kembangkan cadangan gas di natuna dan lapangan lainnya, lapangan Minyak dan gas yang selesai kontrak supaya dikembalikan ke Negara/Pertamina, konsekuen dengan kebijakan Disversifikasi Energi, segera bangun kilang-kilang baru. Kalaupun pemerintah memang konsen terhadap kemakmuran rakyat Indonesia maka segera untuk melakukan kebijakan yang pro rakyat dan mengembalikan pemgelolaan sumber daya energi ke konstitusi.