Minggu, 10 Juli 2011

Masa Orientasi Siswa (MOS) ; Pengenalan atau Kekerasan ???


Hari ini ada yang nampak lain dari hari-hari biasanya, begitu banyak siswa pagi-pagi buta sudah berangkat kesekolah. Ada yang berangkat dengan diantarkan oleh orang tua maupun berangkat masing-masing, siswa ini datang dengan rambut berhiaskan pita warna-warni dan sebuah karton cukup besar terkalung di leher, dengan bertulisakn namanya masing-masing.

Ternyata hari ini dimulailah masa orientasi siswa atau yang biasa kita sebut dengan MOS, masa orientasi siswa merupakan sebuah kegiatan umum dilaksanakan di sekolah guna menyambut kedatangan siswa baru. Masa orientasi ini lazim kita jumpai hampir tiap sekolah, mulai dari tingkat SMP hingga SMA. Tak pandang itu sekolah negeri maupun swasta, semua menggunakan cara itu untuk mengenalkan almamater pada siswa barunya.

MOS dijadikan sebagai ajang untuk melatih ketahanan mental, disiplin dan mempererat tali persaudaraan. MOS juga sering dipakai sebagai sarana perkenalan siswa terhadap lingkungan baru di sekolah tersebut. Baik itu perkenalan dengan sesama siswa baru, kakak kelas, guru hingga karyawan di sekolah itu. Tak terkecuali pengenalan berbagai macam kegiatan yang dilaksanakan di lingkungan sekolah baik yang intrakurikuler (OSIS) maupun ekstrakurikuler (Pramuka, Basket, futsal, karate dll).

Dalam kegiatan MOS pasti ada tujuan yang ingin dicapai. Tujuan yang hendak dicapai dalam kegiatan MOS itu antara lain,memperkenalkan siswa pada lingkungan fisik sekolah yang baru mereka masuki, memeperkenalkan siswa pada komponen sekolah beserta aturan, norma, budaya, tata tertib yang berlaku, memperkenalkan siswa pada keorganisasian, memperkenalkan siswa untuk dapat menyanyikan lagu hymne dan mars sekolah, dan memperkenalkan berbagai wawasan dasar pada siswa sebelum memasuki kegiatan pembelajaran secara formal di kelas.

Namun fakta yang sering kita lihat substansi dari masa orientasi siswa itu sangat tidak sesuai dengan apa tujuan sesungguhnya yaitu menjadi tempat perkenalan antara siswa baru, kakak kelas dewan guru, hingga perkenalan pada sistem dan proses pembelajaran yang akan dijalani. namun MOS dijadikan wahana perpeloncoan, siswa baru menjadi bulan-bulanan kakak kelas mereka. Perpeloncoan yang identik dengan kekerasan terutama terjadinya benturan fisik tak jarang mengakibatkan adanya korban jiwa. Pada tahun 2009 ada salah seorang siswa baru sebuah SMA di kota surabaya menajadi korban kekerasan fisik kakak kelas. Hal ini akibat pelaksanaan MOS yang tidak menggunakan tatacara mendidik dan memunculkan karakter siswa.

Menyambut masa perkenalan siswa baru, dalam MOS Kementrian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) sejak tahun 2008 telah mengeluarkan surat edaran No. 220/C/MN/2008 Perihal : Kegiatan "Masa Orientasi Siswa" yang ditujukan kepada Kepala Dinas Pendidikan Propinsi dan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia, surat edaran menteri pendidikan nasional ini berisi tentang pelaksanaan masa orientasi siswa (MOS). Inti dari surat ini Kemendiknas melarang adanya praktek kekerasan, baik fisik maupun mental.

Seharusnya masa orientasi siswa ini tidak hanya menjadi tanggung jawab kementrian pendidikan nasional saja, tetapi juga tanggung jawab pemerintah daerah apa lagi sekarang pendidikan dasar hingga menengah sudah menjadi otonomi daerah. Walikota dan bupati melalui Kepala dinas pendidikan setempat sudah selayaknya melakukan kontrol terhadap pelaksanaan MOS di wilayahnya, sehingga bila terjadi permasalahan dalam pelaksanaan MOS pemerintah daerah tidak lepas tangan, contohnya terhadap tindak kekerasaan yang mungkin akan terjadi.

Dinas Pendidikan harus memberikan pemahaman kepada pihak sekolah yang mengadakan MOS agar pelaksanaannya tidak mempergunakan kekerasan fisik maupun mental. Kemudian juga sekolah membentuk panitia MOS yang biasanya melibatkan dewan guru dan siswa (pengurus osis)  dengan tata cara tidak menimbulkan kekerasan fisik maupun mental tetapi lebih kepada memupuk pendidikan karakter anak. Yang paling penting semua harus saling mengawasi terhadap pelaksanaan MOS ini, orang tua mengawasi, dewan guru mengawasi, dinas pendidikan mengawasi, serta masyarakat mengawasi.

Ketika sistem sosialisasi dan kontrol ini sudah terlaksana, dan semua stake holder saling pro aktif maka proses Masa Orientasi Sekolah akan kembali kepada tujuan awal MOS itu sendiri yaitu masa perkenalan dengan tanpa tindakan kekerasan baik fisik maupun mental, sehingga peoses perpeloncoan yang identik dengan kekerasan sedikit demi sedikit akan hilang, sehingga MOS menjadi ajang pengenalan siswa baru terhadap lingkungan sekolah yang benar-benar baik dengan tetap menjalankan penguatan berbasis karakter bangsa.

Selasa, 05 Juli 2011

Politik Dinasti Pasca Reformasi ; Demokrasi atau Neo Monarki


Pada zaman feodal di China kuno, kekuasaan politik dibagikan di antara keluarga dan sanak saudara. Ketika feodalisme hancur sekitar kurun 200 sebelum Masehi, takhta kekuasaan menjadi obyek yang diperebutkan pemburu kekuasaan. Di Indonesia hari ini, ketika pemilu kepala daerah menjadi bagian penting sistem demokrasi, rezim keluarga menjadi pemburu kekuasaan itu. Fenomena pasca-kehancuran feodalisme pada akhir Dinasti Chou itu sepertinya menggambarkan fenomena kekinian Indonesia. Pascafeodalisme di China, betapa kaum nonbangsawan terjangkiti syahwat berkuasa. Kisah yang dituturkan ahli sejarah, Chien Ssu-ma, yang hidup pada zaman Dinasti Chin (255-207 SM), menjadi catatan menarik. Sewaktu menyaksikan arak-arakan raja di jalan umum, kepada temannya, ia mengatakan, ”Ini (kekuasaan) bisa kurebut.”

Dinasti politik yang dalam bahasa sederhana dapat diartikan sebagai sebuah rezim kekuasaan politik atau actor politik yang dijalankan secara turun-temurun atau dilakukan oleh salah keluarga ataupun kerabat dekat. Rezim politik ini terbentuk dikarenakan concern yang sangat tinggi antara anggota keluarga terhadap perpolitikan dan biasanya orientasi dinasti politik ini adalah kekuasaan.

Dinasti politik di Indonesia sebenarnya adalah sebuah hal yang jarang sekali dibicarakan atau menjadi sebuah pembicaraan, padahal pada prakteknya dinasti politik secara sadar maupun tidak sadar sudah menjadi benih dalam perpolitikan di Indonesia sejak zaman kemerdekaan. Dinasti politik sebenarnya adalah sebuah pola yang ada pada masyarakat modern Barat maupun pada masyarakat yang meniru gaya barat. Hal ini dapat terlihat dalam perpolitikan di Amerika dan juga di Filipina. Dinasti politik tidak hanya tumbuh di kalangan masyarakat demokratis-liberal. Tetapi pada hakikatnya dinasti politik juga tumbuh dalam masyarakat otokrasi dan juga masyarakat monarki, dimana pada sistem monarki sebuah kekuasaan sudah jelas pasti akan jatuh kepada putra mahkota dalam kerajaan tersebut.

Dinasti politik di Indonesia sebenarnya sudah muncul di dalam keluarga Presiden pertama Indonesia,Preseiden Soekarno. Hal tersebut terbukti dari lahirnya anak-anak Soekarno yang meneruskan pekerjaan ayahnya sebagai seorang politisi. Seperti Megawati Soekarno putri (yang akhir-akhir ini juga semakin memperlihatkan gejala kedinastian politik Indonesia pada diri anakanya –Puan Maharani), Guruh Soekarno Putra, dll. Dalam tatanan kontempoerer, dinasti politik juga sekarang terlihat muncul pada diri keluarga mantan Presiden Indonesia Alm K.H. Abdurrahman wahid, dengan munculnya saudara-sudara kandungnya dan juga anak kandungnya ke dalam dunia perpolitikan Indonesia. Kecenderungan dinasti politik juga ditunjukkan dalam keluarga Presiden Indonesia saat ini Susilo Bambang Yudhoyono, yang ditunjukkan dengan kiprah anaknya Eddie Baskoro yang berhasil menjadi anggota DPR periode 2009/2014.

Hasrat berkuasa seperti itu mirip dengan semangat berkuasa di alam demokrasi karena setiap orang punya hak sama. Namun, runyamnya, jalur pertalian darah atau keluarga yang merupakan ciri masyarakat tradisional justru tersemai subur di lorong-lorong demokrasi yang terus dibangun di negeri ini. Tak mengherankan, sejak pemilu kepala daerah (pilkada) menjadi proses demokrasi di tingkat lokal pasca era otonomi daerah 10 tahun silam, politik dinasti atau rezim keluarga justru makin fenomenal. Pilkada yang melahirkan elite daerah kian disesaki dengan lakon suami-istri, orangtua-anak, atau kakak-adik.

Saat bupati petahana (incumbent) tidak bisa lagi ”naik ring” karena sudah dua periode, seperti diatur Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, para istri yang naik pentas. Itulah yang dilakukan Sri Suryawidati (Ida), istri Bupati Bantul, DI Yogyakarta, Idham Samawi; Titik, istri Bupati Sukoharjo, Jawa Tengah, Bambang Riyanto; dan Widya Kandi Susanti, istri Hendy Boedoro, Bupati Kendal, Jateng. Bahkan, kasus di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, mirip gaya total football Belanda. Bupati Irianto MS Syaifuddin memberikan restu kepada istrinya, Anna Sophana, dan anaknya, Daniel Mutaqien, untuk mencalonkan diri bersama. Mereka berebut tiket dari Partai Golkar. Kasus rezim keluarga terlihat pula pada pilkada di Kabupaten Kediri, Jawa Timur, atau Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Sebagai bagian dari lingkaran dalam penguasa petahana, pasti mereka memiliki modal kuat.

Nafsu kuasa tampaknya tak mudah dibatasi. Sepenggal ungkapan klasik Lord Acton (1834-1902), ”kekuasaan cenderung korup”, pun tak mampu menjadi pengingat. Tak heran, aturan UU No 32/2004 pun bisa ”diakali”. Salah satu modusnya adalah bertukar jabatan. Kepala daerah petahana memilih ”turun takhta” ke posisi wakil agar bisa ”bertarung” lagi. Wali Kota Surabaya Bambang DH turun menjadi wakil wali kota. Sebetulnya Bambang ingin mencalonkan lagi sebab merasa pada periode pertama, ia menggantikan Wali Kota Sunarto Sumoprawiro yang meninggal. Namun, uji materi terhadap UU itu yang diajukannya kandas di Mahkamah Konstitusi. Di Jembrana, Bali, Bupati Gede Winasa yang sudah menjabat dua periode dikabarkan akan menduduki wakil bupati mendampingi anaknya, Patriana Krisna. Carut-marut politik rezim keluarga di pilkada kian ruwet. Contoh mutakhir adalah kasus di Bone Bolango, Gorontalo. Bupati Ismet Mile (petahana) yang bertarung kembali untuk periode kedua justru ditantang istri pertamanya, Ruwaida Mile. Pertarungan ini terpicu persoalan dalam rumah tangga.

Fenomena rezim keluarga itu, menurut pengajar Ilmu Politik Universitas Indonesia, Andrinof Chaniago, tak beda dengan feodalisme pada masa silam. Hal itu membuat penyaluran aspirasi masyarakat menjadi semu. Fenomena itu, ungkap Guru Besar Kebijakan Publik Universitas Brawijaya, Malang, Solichin Abdul Wahab, memperlihatkan demokrasi belum selesai sepeninggal Orde Baru yang otoritarian. ”Pada masa Orde Baru, dinasti (rezim) keluarga menguasai sektor ekonomi. Tetapi, sekarang masuk di bidang politik,” Dalam konteks rezim keluarga itu menunjukkan banyaknya penunggang gelap yang akhirnya membuat kualitas demokrasi menurun.

Kamis, 30 Juni 2011

KEMISKINAN DITENGAH MELIMPAHNYA SUMBER DAYA ENERGI KEMBALIKAN PENGELOLAAN PADA KONSTITUSI


Jumlah penduduk miskin indonesia masih relatif sangat besar meskipun dengan menggunakan standard BPS yang sangat rendah (penghasilan $1/hari) penduduk miskin masih sekitar 30 jutaan orang, padahal potensi sumber daya relatif melimpah, cadangan batubara dan gas relatif sangat besar dan cadangan minyak relatif sangat besar itulah yang di sampaikan Dr. Kurtubi Direktur CPEES (center for petroleum and energy economics studies) yang juga merupakan pengamat perminyakan dalam sebuah acara Workshop Energi dan Pertambangan. Sumber daya fossil/hydrocarbon, khususnya minyak dan gas yang terjebak disekitar 120 cekungan relatif masih sangat besar, semestinya bisa menjadikan indonesia sangat menarik bagi para investor, sehingga produksi minyak bisa sustainable. Namun, Indonesia saat ini telah berubah menjadi negara Net Oil Importer harus keluar dari OPEC. Penyebabnya karena Indonesia salah dalam mengelola kekayaan  migasnya hal ini mengakibatkan kondisi investasi Migas di Indonesia merupakan salah satu yang terburuk di dunia. Konsumsi energi di Indonesia tahun 2005 masih sebagian besar tergantung pada energi fosil (83%) meski dengan Diversifikasi sumber energi dimana minyak turun dari 52% tahun 2005 menjadi 20% pada tahun 2025.

Dasar hukum pengelolaan sumber daya energi adalah pasal 33 UUD 1945, ayat 2 & 3 dan UU Migas No. 22/2001, ayat 2 : cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. (dasar pengelolaan energi ; BBM dan Listrik) dan ayat 3 : Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. (dasar Pengelolaan sumber daya Energi dan Mineral ; Migas dan Tambang Umum). Kenyataannya produksi minyak nasional sangat rendah/anjlok, sasaran produksi dalam APBN selalu gagal dicapai, sehingga ketergantungan pada minyak import terus meningkat sehingga ketahanan energi sangat rawan. Hal ini disebabkan bukan karena potensi sumber daya Migas yang habis, tetapi karena salah kelola yang didasarkan atas UU Migas No. 22/2001

Berdasarkan hasil survey dari Fraser Institute Canada, kondisi industri/investasi Migas di Indonesia salah satu yang terburuk di Dunia. Dari 133 negara/wilayah yang disurvey, indonesia berada di urutan 111, sedangkan untuk kawasan Oceania, posisi indonesia sangat paling buruk hanya lebih baik dari timor leste. Kondisi investasi migas Indonesia lebih buruk dari, Papua Nugini, Malaysia, Philipina, Vietnam, Camboja, Thailand, Brunei, Australia, China, India, Pakistan Dsbnya. Hal ini terjadi karena faktor korupsi, keterbatasan akses data, kontrak yang dilanggar oleh pemerintah, dan karena UU Migas yang tidak investor friendly. Meskipun UU Migas sudah cacat hukum dan merugikan Indonesia, tetapi pemerintah (presiden dan menteri ESDM) tidak melakukan apapun untuk memperbaiki keadaan.

Adapun kesalahan pengelolaan Migas saat ini yang didasarkan atas UU Migas No. 22/2001 ialah Bertentangan dengan UUD 1945 (berpola B to G, kedaluatan negara atas Sumber daya energi hilang, menghilangkan peran negara, liberalisasi), Bertentangan dengan prinsip pengelolaan yang efisien (birokratik/berbelit-belit, model unbudling/terpecah), Menafikan resiko usaha perminyakan (mencabut azas psesialist), Menyebabkan kondisi investasi migas di Indonesia menjadi paling/sangat buruk di dunia, Produksi minyak anjlok, sementara cost recovery meningkat, BP Migas didesain dengan tanpa dewan komisaris, Migas bagian negara harus dijual lewat pihak ketiga, Gas milik negara di tangguh papua dijual sangat murah ke china sementara didalam negeri kekurangan Gas.

Sehingga UU Migas harus dicabut/direvisi karena Keputusan mahkamah konstitusi telah mencabut beberapa pasal utama karena dinilai bertentangan dengan pasal 33 UUD 1945, yaitu pasal 12 ayat 3, pasal 22 ayat 1 dan pasal 28 ayat 3, Dalam konsiderans (‘mengingat’) UU Migas menyebutkan : “pasal 33 ayat 2 dan 3 UUD 1945 yang telah di ubah dengan perubahan kedua UUD 1945”. Padahal pasal 33 tidak pernah diubah hingga saat ini, Pansus hak angket BBM DPR telah merekomendasikan agar UU Migas direvisi, Implementasi UU Migas telah terbukti merugikan negara, Memberi jalan bagi terbentuknya BUMN Migas (pertamina baru) berdasarkan pasal 33 UUD 1945 yang terintegrasi, berskala dunia, terbesar di asia, efesien dan mampu bersaing. Saat ini Pertamina tertinggal jauh dari Petronas. Jumlah asset dan revenuesnya hanya 1/5 Petronas.

Untuk mempercepat kemakmuran dan mengurangi kemiskinan kembalikan pengelolaan migas nasional sesuai amanat konstitusi yaitu kembali kepada pasal 33 UUD 1945. Segera cabut/revisi UU migas No. 22/2001 pola hubungan antara host country dengan investor, supaya dirubah dari pola B to G menjadi B to B. Karena pola B to B lebih efesien dan lebih menjamin kedaulatan negara atas sumber daya alamnya. Kontrak production sharing dengan investor dilakukan antara BUMN Migas yang diberi kuasa pertambangan dengan investor, dimana seluruh kontrak harus memperoleh persetujuan dari presiden dan dilaporkan ke DPR. Sederhanakan sistem dengan melikiwidasi BP Migas ke BUMN Migas, BPH Migas dilikwidasi ke Kemen ESDM/Ditjen Migas sebagai regulator. Hapus pajak/pungutan sebelum berproduksi. BUMN Migas sebagai pemegang kuasa pertambangan harus didesain sebagai perusahaan minyak yang terintegrasi (integrated oil company) dan harus dinyatakan tidak boleh dijual. Kekayaan Migas yang ada di perut bumi harus dikuasai dan dimiliki negara, dibukukan sebagai asset oleh BUMN Migas dan dapat dimonetasi oleh BUMN Migas.

Langkah atau kebijakan yang harus diambil pemerintah adalah segera renegosiasi penjualan gas tangguh ke china, penuhi kebutuhan gas dalam negeri, segera kembangkan cadangan gas di natuna dan lapangan lainnya, lapangan Minyak dan gas yang selesai kontrak supaya dikembalikan ke Negara/Pertamina, konsekuen dengan kebijakan Disversifikasi Energi, segera bangun kilang-kilang baru. Kalaupun pemerintah memang konsen terhadap kemakmuran rakyat Indonesia maka segera untuk melakukan kebijakan yang pro rakyat dan mengembalikan pemgelolaan sumber daya energi ke konstitusi.

Jumat, 28 Januari 2011

ALBET MAYDIANTORO,S.Pd

Permasalahan-Permasalahan Pelaksanaan Standar Isi (SI) IPS

Pelaksanaan KTSP mata pelajaran IPS yang diberlakukan sejak tahun 2006
menimbulkan berbagai permasalahan di lapangan. Masalah-masalah tersebut
adalah:
1. Sosialisasi KTSP belum merata
Berdasarkan temuan di lapangan khususnya ketika dilakukan berbagai pelatihan yang berkenaan dengan pelaksanaan KTSP baik yang dilaksanakan oleh Dinas Pendidikan (Propinsi/Kabupaten/Kota) maupun oleh Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) di berbagai daerah, tidak jarang ditemukan guru yang belum paham tentang KTSP. Bila ditelusuri kegiatan sosialisasi ini berawal dari beberapa orang guru dari berbagai daerah diundang oleh BSNP.

Kemudian mereka dijadikan penatar KTSP untuk tingkat nasional dan daerah. Informasi itu diestafetkan kembali di tingkat propinsi sampai daerah. Di daerah tidak seluruh guru dapat mengikuti kegiatan sosialisasi. Kalaupun ada, baru pada tataran MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran) bagi mereka yang aktif di MGMP. Sebenarnya estafet informasi itu sudah baik, namun tatkala mereka kembali ke sekolah masing-masing, guru yang diharapkan jadi mediator untuk guru-gurunya di sekolah tidak dan atau kurang memberikan informasi yang telah didapatnya itu. Pada akhirnya tidak sedikit sekolah mengundang para pejabat terkait diundang, mulai dari Kepala Sekolah, Subdin Dikdasmen, Pengawas, dan Pakar Kurikulum untuk menjelaskan tentang dokumen KTSP. Tetapi kegiatan ini hanya dilaksanakan oleh sekolah yang memiliki dana. Bagi sekolah yang tidak memiliki dana, jelas KTSP hanya sebatas yang mereka dengar sehingga pehamanan pada KTSP sangat minim.
Demikian juga dengan pedoman petunjuk teknis KTSP yang belum disosialisasikan menambah kaburnya implementasi kurikulum. Pada akhirnya tidak seluruh sekolah sudah menerapkan KTSP.

2. Guru masih berorientasi pada buku teks, tidak mengacu pada dokumen
Kurikulum Dokumen kurikulum (KTSP) yang dikeluarkan oleh BSNP melalui dinas
pendidikan, baik tingkat pusat dan daerah telah menyebar ke berbagai sekolah sebagai pelaksana dan pengembang kurikulum. Berbagai media, cara dan sarana untuk menyebarkan kurikulum itu telah ditempuh oleh BSNP, seperti workshop, pelatihan, seminar, dan lain sebagainya. Sasaran dari penggunaan berbagai media dan kegiatan itu diharapkan agar pelaksana kurikulum (guru) memahami dan melaksanakan proses belajar mengajar yang mengacu pada kurikulum. Tetapi berdasarkan penemuan di lapangan ketika melakukan pelatihan-pelatihan yang berkenaan dengan PBM, masih banyak guru dalam PBM tidak mengacu pada kurikulum. Mereka lebih memilih pada buku teks yang dianggap sudah menjabarkan kurikulum. Untuk itu tidak jarang guru yang tahu kurikulum hanya pada batas wacana, bukan pada dokumen kurikulum yang sebenarnya. Buku teks menjadi sarana yang memadai dalam menjabarkan kurikulum. Kondisi ini jelas salah, karena seharusnya guru sendiri yang harus menjabarkan dan mengembangkan kurikulum.

3. Dokumen Kurikulum
Standar isi Mata Pelajaran IPS yang memuat Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar terdapat dua masalah yaitu sequens dan isi atau content.
a. Sequens
Sequens yang digunakan tidak jelas konsepnya apakah menggunakan pendekatan kronologis, kausalitas, tematis, dan lainnya. Ketidakjelasan penggunaan konsep sequens berdampak pada materi yang tidak jelas urutannya, apakah diurut berdasarkan keluasan ruang lingkup materi, unsure kronologi waktu atau yang lainnya. Terdapat sequens materi yang tidak berurutan, baik SK dan KD tingkat SD, SMP dan SMA. Berikut ini beberapa contoh urutan SK dan KD yang tidak jelas urutannya. Misalnya di SD pada Kelas 3 Semester 2 urutannya yang semula menguraikan contoh jual beli di lingkungan di rumah dan sekolah (KD. No. 2.3) baru kemudian dibahas sejarah uang (KD. No. 2.4), sebaiknya dibahas dahulu sejarah uang baru kemudian dibahas contoh-contoh praktek jual beli. Urutan yang digunakan dalam IPS SMP tidak jelas konsepnya apakah konsep Kurikulum IPS Terpadu, Korelasi, atau Terpisah-Pisah. Walaupun diberi nama IPS Terpadu akan tetapi dalam kenyataannya SK dan KD tetap
terpisah-pisah antara Sejarah, Ekonomi, Geografi dan Sosiologi, sehingga materi yang tercantum dalam SK dan KD tidak berurutan. Ada upaya untuk memadukan dalam suatu tema yang diuraikan dalam KD yang beragam, misalnya KD nya tersebut ada aspek sejarah dan Geografi. Tetapi cara memadukannya tersebut kurang tepat, misalnya pada kelas VII semester 1 KD No. 1.1. dan No. 1.2. tidak ada kaitannya kalau melihat SK No. 1. SK nya lebih dekat dengan geografi sedangkan KD. No. 1.2. berisikan sejarah. Pada sisi lain ada SK yang hanya sejarah, geografi, ekonomi, dan sosiologi.
Seperti pada Kelas VII semester 2, SK no. 4, 5 dan 6. SK no. 4 geografi, SK no. 5 sejarah dan SK no. 6 ekonomi.Sequens untuk SMA nampak tidak jelas dalam mata pelajaran Sejarah di Jurusan IPA dan Bahasa sebaiknya disamakan dengan sequens pada jurusan IPS. Hal ini penting agar ada penyeragaman materi sebab misi pelajaran sejarah adalah membangun jati diri bangsa dengan menanamkan nilai-nilai kebangsaan.
b.Materi (content)
Pada umumnya materi mata pelajaran IPS dan alokasi waktu yang disediakan kurang proporsional. Waktu yang diberikan sangat singkat sedangkan materi yang harus diberikan cukup banyak. Misalnya jumlah mata pelajaran sejarah di Program IPA SMA hanya satu jam sementara materi yang harus diberikan cukup banyak. Begitu pula pelajaran Geografi pada kelas 1 hanya diberikan waktu 1 jam. Begitu pula dalam mata pelajaran Ekonomi, KD pada mata pelajaran ekonomi kelas XII IPS terlalu padat. Pada Kelas X materi pelajaran ekonomi terlalu banyak, alokasi jamnya tidak cukup. Selain alokasi waktu yang tidak proporsional, terdapat juga sebaran materi yang tidak merata, khususnya pada IPS di SD dan SMP. Semestinya proporsi sebaran materi sejarah, geografi, ekonomi, dan sosiologi merata pada setiap semester dan kelas. Misalnya materi IPS SD untuk kelas V hampir seluruhnya materi sejarah. Begitu pula IPS SMP, pada kelas VII semester 1 materi Sejarah sangat sedikit, hanya ada dalam satu KD dan itupun berada dalam SK yang lebih cocok untuk geografi.

4. Penyusunan Program Silabus dan RPP
Guru dalam menyusun Silabus dan RPP belum banyak memperlihatkan kekhasan pada satuan pendidikannya. Tuntutan KTSP yang harus memperlihatkan situasi dan kondisi sekolah atau daerah semestinya menjadi bahan dalam materi pelajaran. Hal ini terjadi dikarenakan perumusan indicator dan tujuan belum dirumuskan sendiri oleh guru. Ada kecenderungan, guru-guru membuat indikator mengcopy dari buku teks yang mencantumkan indicator dari masing-masing materi yang akan disampaikan. Selain itu guru harus bisa membedakan rumusan indikator dan tujuan, sehingga tidak rancu dalam merumuskan silabus dan RPP. Pemahaman terhadap perbedaan indikator dan rumusan tujuan, ada perbedaan antara guru dan pengawas di lapangan. Hal ini dapat menyulitkan guru dalam merumuskan Silabus dan Indikator, karenakedudukan pengawas sebagai penilai kinerja guru.

5. Struktur Program
Struktur program pada mata pelajaran IPS masih menunjukkan adanya ketidakseimbangan antara alokasi waktu yang disediakan dengan keluasan materi yang harus disampaikan kepada siswa. Khususnya pada mata pelajaran Geografi SMA kelas X, Sejarah untuk kelas X dan program IPA.

6. Strategi Pembelajaran
Ada suatu kecenderungan pemahaman yang salah bahwa pelajaran IPS adalah pelajaran yang cenderung pada hafalan. Pemahaman seperti ini berakibat pada pembelajaran yang lebih menekankan pada verbalisme. Guru dalam menerapkan metode pembelajaran lebih menekankan pada metode yang lebih menekankan pada aktivitas guru, bukan pada aktivitas siswa. Pembelajaran yang dilakukan oleh guru kurang variatif. Misalnya guru lebih banyak menggunakan metode ceramah bahkan menyuruh siswa untuk mencatat.

7. Penilaian
Penilaian merupakan salah satu cara untuk mengukur keberhasilan pencapaian indikator dan tujuan yang telah ditetapkan baik dalam silabus maupun RPP. Bentuk penilaian yang digunakan hendaknya harus sesuai dengan tuntutan indikator dan tujuan. Pada umumnya guru melakukan penilaian lebih banyak menggunakan alat-alat penilaian yang masih konvensional yaitu tes tertulis. Tes yang digunakan pun masih banyak mengukur aspek kognitif pada jenjang yang lebih rendah misalnya kemampuan untuk menyebutkan. Penggunaan bentuk tes yang demikian disebabkan oleh pemahaman yang salah tentang materi IPS. Materi IPS dipahami sebagai materi yang hapalan saja, sehingga tes yang digunakan pun lebih menekankan pada hapalan. Padahal berbagai keterampilan berpikir dalam IPS bisa diuji melalui penilaian yang dibuat oleh guru.

8. Sarana Pembelajaran
Sarana pembelajaran sangat penting untuk mencapai tujuan pembelajaran IPS. Pada umumnya sarana untuk mendukung pembelajaran IPS masih sangat minim. Belum adanya semacam laboratorium IPS yang dapat dijadikan tempat siswa untuk mempraktekan materi-materi yang disampaikan di kelas. Misalnya ada laboratorium bagi siswa untuk mempraktekan bagaimana melakukan penginderaan jauh, praktek bagaimana cara bertransaksi dengan bank, praktek bagaimana mengenal benda-benda bersejarah, dan lain-lain. Dengan adanya sarana pembelajaran yang baik maka pembelajaran IPS dapat melihat realitas kehidupan sehari-hari yang merupakan suatu fenomena sosial. Pemahaman seperti inilah menjadikan IPS tidak lagi dipahami sebagai mata pelajaran hafalan.

9. Kualifikasi Guru
Ada suatu anggapan bahwa pelajaran IPS adalah pelajaran yang mudah karena hanya hafalan saja, sehingga siapa saja dapat mudah menjadi guru IPS. Anggapan ini berdampak pada kualifikasi guru IPS. Masih banyak guru yang mengajar IPS tidak memiliki latar belakang pendidikan IPS. Padahal untuk menjadi guru IPS harus`memiliki latar belakang pendidikan IPS. Hal ini disebabkan IPS merupakan satu disiplin ilmu yang memiliki konsep dan teoriteori, yang hanya dapat dipahami melalui jalur pendidikan profesional. Apabila guru yang mengajar IPS bukan berlatar belakang pendidikan IPS, maka akan sulit memahami konsep-konsep atau teori-teori yang ada dalam IPS. Guru yang demikian akan berdampak pada cara pembelajaran yang dilakukannya. Ada kemungkinan pembelajaran yang dilakukan lebih menekankan pada hafalan saja, sehingga keterampilan-keterampilan berpikir dalam IPS tidak
dikembangkan.


 Pemecahan Masalah Terhadap Pelaksanaan Standar Isi IPS

Berdasarkan uraian masalah terhadap pelaksanaan standar isi IPS, maka perlu
dilakukan berbagai pemecahan masalah sebagai berikut :
1. Sosialisasi KTSP
Sosialisasi KTSP hendaknya tidak hanya mengandalkan pada instansi yang bersifat
struktural seperti BSNP, Dinas Pendidikan (Propinsi, Kabupaten, Kota), dan lainlain.
Sekolah dalam hal ini Kepala Sekolah lebih bersifat pro aktif dalam melaksanakan sosialisasi. Hendaknya sekolah sendiri secara internal melakukan sosialisasi KTSP. Sekolah dapat menggunakan guru yang telah dilatih untuk menjadi instruktur di sekolahnya dalam pelatihan KTSP. Hal terpenting adalah adanya kepedulian dari Kepala Sekolah untuk melakukan pelatihan KTSP di sekolahnya. Dengan cara demikian maka sosialisasi KTSP akan semakin merata.

2. Dokumen
Dokumen standar isi yang memuat Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar perlu ditata kembali. Dalam penataan tersebut harus memperhatikan landasanlandasan kurikulum yang akan dipakai. Sequens materi harus jelas landasan konsepnya. Misalnya pada tingkat SD diorganisasikan secara terpadu. Sedangkan pada tingkat SMP ada dua pilihan, yaitu pertama, kalau ingin mengembangkan IPS Terpadu, maka SK dan KD yang dikembangkan harus lebih menggunakan pendakatan tematis. Kedua, apabila disiplin pada masing-masing ilmu sosial masih nampak maka menggunakan model pengorganisasian yang korelasi. Sedangkan untuk tingkat SMA pengorganisasian materi digunakan dengan pendekatan terpisah-pisah, artinya sejarah diajarkan sebagai sejarah, ekonomi sebagai ekonomi, sosiologi sebagai sosiologi, dan geografi sebagai geografi.

Selain pengorganisasian materi yang jelas, hal yang harus dilakukan adalah sequens dan content harus jelas. Materi yang dicantumkan harus disederhanakan dan proporsional. Tidak ada pengulangan materi pada jenjang berikutnya dan tidak ada penumpukkan materi pada semester-semester tertentu. Sequens bisa dilihat dari aspek kronologi, tingkat kesulitan, dan keluasan materi. Mulai dari penyajian materi yang mudah, sedang hingga sulit dipahami. Begitu pula dalam keluasan materi, mulai dari ruang lingkup yang kecil hingga ke ruang lingkup yang meluas.

3. Penyusunan Program Silabus dan RPP
Untuk mengatasi kesulitan guru dalam merumuskan Silabus dan RPP, hendaknya perlu dilakukan pelatihan-pelatihan mengenai bagaimana menyusun Silabus dan RPP yang baik. Agar guru dapat menyusun Silabus dan RPP yang baik hendaknya guru dapat mengenal dan mengidentifikasi apa yang menjadi ciri khas sekolah dan daerahnya. Harus ada pedoman penyusunan Silabus dan RPP baik yang bersifat umum maupun yang bersifat lokal. Pemahaman guru terhadap kekhasan lokal perlu adanya sosialisasi dengan pihak pemda, dinas pendidikan dan sekolah. Pemda harus`menetapkan apa yang menjadi keunggulan lokal dari daerah tersebut yang akan dituangkan dalam program pendidikan. Program pemda tersebut kemudian disosialisasikan kepada sekolah melalui dinas pendidikan.

4. Struktur Program
Struktur program mata pelajaran IPS hendaknya proporsional antara lingkup materi dengan alokasi waktu yang disediakan. Perlu ditata ulang struktur program mata pelajaran IPS. Apabila ruang lingkup materi akan tetap seperti sekarang maka perlu ditambah alokasi waktunya. Sebaliknya apabila alokasi waktu tetap seperti yang tercantum sekarang maka sebaiknya ruang lingkup materi disederhanakan. Penyederhanaan materi harus menekankan pada materi-materi yang bersifat esensial.

5. Strategi Pembelajaran
Strategi pembelajaran yang dilakukan oleh guru dalam mata pelajaran IPS hendaknya lebih menekankan pada aktivitas siswa. Metode pembelajaran yang dilakukan hendaknya yang menuntut berbagai jenjang kemampuan siswa. Jenjang kemampuan siswa yang dituntut tidak hanya pada level yang rendah, misalnya kemampuan menghafal. Berbagai keterampilan berpikir dapat dikembangkan, misalnya kemampuan berpikir kritis dilakukan dengan metode diskusi, kemampuan melakukan penelitian atau obserbasi menggunakan metode proyek, kemampuan afektif menggunakan metode role playing atau sosio drama, dan contoh-contoh yang lainnya. Agar guru dapat menguasai berbagai metode mengajar maka perlu dilakukan pelatihan tentang berbagai metode mengajar dalam mata pelajaran IPS.

6. Penilaian
Penilaian berfungsi untuk mengukur ketercapaian kompetensi, indikator dan tujuan yang telah ditetapkan dalam silabus dan RPP. Penilaian yang dikembangkan hendaknya tidak terbatas pada penggunaan tes saja. Guru harus menggunakan berbagai model alat penilaian, seperti asesmen kinerja, portofolio, dan jenis-jenis penilaian non tes. Penetapan penggunaan alat penilaian tergantung kepada rumusan tujuan yang telah ditetapkan. Dalam mata pelajaran IPS berbagai keterampilan dapat dikembangkan, misalnya keterampilan sosial menggunakan alat penilaian skala sikap, keterampilan penelitian menggunakan asesmen portofolio, dan yang lainnya.

7. Sarana Pembelajaran
Sarana pembelajaran sangat penting dalam menunjang ketercapaian tujuan pembelajaran. Pada umumnya sarana pembelajaran IPS sangat penting. Untuk memecahkan hal demikian maka sebaiknya guru menggunakan sarana pembelajaran yang ada di lingkungan sekitar. Misalnya apabila sekolah tersebut dekat dengan pasar maka gunakanlah untuk mempraktekan pelajaran ekonomi dan sosiologi. Dalam mata pelajaran ekonomi guru dapat menugaskan kepada siswa untuk mempraktekan bagaimana jual beli dan pertukaran barang. Pelajaran sosiologi dapat mempraktekan materi bagaimana interaksi sosial yang terjadi di pasar. Begitu pula apabila ada situs-situs sejarah yang dekat guru dapat menjadikan sarana pembalajaran mata pelajaran sejarah. Mata pelajaran Geografi dapat melihat bagaimana kondisi geografis yang dekat dengan sejarah. Misalnya apabila di dekat sekolah ada kawasan yang penuh dengan batuan-batuan maka guru dapat menggunakan daerah tersebut untuk praktek mengenal berbagai jenis batuan.

Dengan cara penggunaan sarana yang demikian, maka model pembelajaran yang digunakan oleh guru lebih melihat kepada apa yang dapat dilihat langsung oleh siswa dalam kehidupan sehari-hari. Model seperti ini dikenal dengan istilah Contextual Teaching Learning (CTL).

8. Kualifikasi Guru
Kurangnya guru yang berkualifikasi dalam mata pelajaran IPS dapat dilakukan melalui pengangkatan guru yang sesuai dengan bidangnya. Selain itu, guru yang ada dan berlatar belakang bukan IPS dapat diberikan semacam pelatihan secara intensif mengenai materi IPS dan bagaimana cara pembelajarannya. Cara seperti ini dilakukan dalam upaya meningkatkan profesionalisme guru IPS.